“SEKUAT BATU KARANG”
TITIK
SUPRIATI, S. Pd
Udara di Kota Surabaya selalu terasa hangat, aku teringat saat pertama kali menginjakkan kaki di Kota Pahlawan, tepatnya di awal tahun 2011 saat itu usiaku 27 tahun. Tahun demi tahun berlalu dengan penuh harapan baik dalam keluarga maupun dalam karir. Pekerjaan menjadi guru di tingkat pendidikan Sekolah Dasar bagiku sangat menyenangkan. Setiap hari kulalui dengan penuh riang karena selalu berada di lingkungan anak-anak usia SD yang masih lugu danselalu gembira. Aku memiliki keluarga kecil yang bahagia,alhamdulillah aku diberi kepercayaan oleh Allah SWT dengan dikaruniai seorang anak. Awal tahun 2015, aku dan keluarga kecilku dapat memiliki rumah di Surabaya meskipun kecil tetapi bagi kami sungguh suatu karunia yang tak ternilai. Rasa syukur teramat dalam terasa ketika melihat sinar bahagia puteri pertamaku terpancar diwajahnya sambil berlari keluar masuk rumah membawa mainannya. Satu tahun kemudian kebahagiaan pun bertambah lengkap dengan hadirnya puteri keduaku di penghujung tahun 2016 yang cantik dan lucu.
Kehadiran putri kecilku membuatku sadar “ikhlas itu luar biasa”. Ya, mungkin bagi sebagian orang kalimat itu hanyalah kalimat biasa yang sering diucapkan saat mengalami hal yang tidak mengenakkan dalam hidup. Tetapi mungkin juga bagi sebagian orang memiliki arti yang sangat mendalam, dan salah satunya adalah aku. Pada suatu ketika di pertengahan tahun 2018 Allah SWT lebih dulu memanggil suamiku di usianya yang masih 39 tahun, Saat itu usiaku 34 tahun, semangat dan harapan yang ada dalam hidupku pun lenyap. Seperti mimpi, tapi aku sadar sepenuhnya kalau suamiku benar-benar sudah meninggal. Tahun 2018 merupakan tahun yang sangat berat. Aku melalui ujian yang berat bersama kedua putriku yang masih kecil-kecil. Aku harus kuat dan memendam semua kesedihanku di depan kedua putri kesayanganku.Aku tidak ingin berduka selamanya. Aku harus bisa menjadi penyemangat hidup kedua putri tercintaku. Putri pertamaku masih duduk di kelas 5 SD dan yang kecil masih berumur 1 tahun 6 bulan. Terkadang, aku masih termangu sendiri, tidak ada pertanda apa-apa di tahun sebelumnya, tetapi aku masih bersyukur masih diberi kesempatan oleh Allah SWT untuk merawat suamiku ketika sakit. Aku masih ingat semua yang kulalui menjelang suami yang sangat aku sayang dan aku cintai berpulang ke rumah Allah. Awalnya hanya sakit panas dan flu seminggu kemudian muncul bercak merah di tubuh, badannya lemas dan berat badan berkurang drastis. Kecurigaanku akan penyakit yang diderita suami pun muncul, berbagai rentetan tes kesehatan dan berbagai cara pengobatan kujalani tanpa memikirkan ekonomi dengan harapan besar agar suamiku sembuh seperti sedia kala. Hari berganti hari kulewati dengan setengah sadar akan beberapa pertanda dari Tuhan tetapi hatiku menepis bahwa itu hanya hayalanku saja. Seminggu menjelang Hari Raya Idul Fitri kondisi suamiku menurun drastis dan saat itu pula hasil laboratorium keluar dan menyatakan bahwa suamiku positif menderita penyakit autoimun dan aktifitas SLE berpusat di otak kirinya. Aku tetap merahasiakan meski almarhum selalu bertanya bagaimana hasil laboratnya.
“Bunda,
bagaimana hasil laboratoriumnya?”
“Ayah…ndak usah mikir apa-apa yang penting
harus tetap semangat untuk sembuh, makan minum yang banyak dan pasrah biar
dokter yang bekerja maksimal ya!”. Jawabku
selalu.
Aku
bersyukur memiliki atasan dan rekan kerja yang penuh pengertian, sehingga aku
bisa menemani suamiku yang masih di ruang perawatan di rumah sakit.
Tahap
demi tahap masa kritis berlalu di rumah sakit meski enam orang tim dokter
spesialis sudah berusaha maksimal dan membuatku untuk tetap kuat menghadapi
kenyataan terburuk yang akan terjadi.
Aku masih merahasiakan kondisi yang sebenarnya
dari suami karena hati kecilku tak ingin di detik detik akhir hidupnya ada
ekspresi kesedihan yang terpancar meski setiap saat aku harus berpura-pura
bahagia dan menahan air mata di depannya. H-1 sebelum Hari Raya Idhul Fitri
masih teringat jelas ia memintaku tetap disampingnya padahal aku harus turun
dari ruang ICU untuk ambil resep dokter dan beberapa kantong darah untuk
tranfusi. Tak biasanya ia minta berkali-kali disuapi seolah sangat lapar dan sesekali
mengajak bercanda bahkan minta untuk selfie berdua
“Bunda,
kapan takbiran,ya?”
“Nanti
malam, ayah.”
“Ayah,
ingin sekali pulang.”
“Ayah,
harus sehat dahulu, minum yang banyak dan menurut sama dokter, kalau sudah
sehat kita bisa takbiran bersama.’
Mendengar jawabanku ia pun tersenyum sambil
mengangguk dan semangat mengunyah makanan yang ada di mulutnya. Adzan magrhib
berkumandang terdengar sampai ke ruang ICU tempat suamiku dirawat, kuperhatikan
mulutnya bergetar mengikuti suara adzan sambil menarik nafas berat. Seketika
itu aku sadar bahwa suamiku sedang mengalami sakaratul maut dan tangannya
menggenggam erat tanganku seolah tak ingin pergi saat itu, Tubuhku terasa lemas tapi aku sadar harus kuat.
Aku
berusaha bangkit dan menuntunkan kalimat syahadat di telinga kanan suamiku, tim
dokterpun bersiap untuk tindakan medis. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun, Allah SWT telah memanggilnya tepat saat gema takbir
terdengar, suamiku telah berpulang
ke rumah Allah SWT untuk
selamanya .
Kepergiannya membuat hidupku seperti sudah
tidak ada semangat. Aku
merasakan kepergiannya yang seakan
menyayat relung hatiku. Ku
teringat, saat terakhir ia pergi dalam pelukanku perlahan tanganku pun
terlepas dari genggamannya.Separuh
hidupku seakan hilang bersama kepergiannya, namun aku masih ingat ada dua putriku.
Hari-hari berlalu penuh kesunyian dalam hidup kami. Sampai pada suatu saat aku tersadar bahwa tidak
hanya aku yang larut dalam kesedihan tetapi justru puteri pertamaku yang sangat
terpukul atas kepergian ayahnya. Aku
menyadari, putri pertamaku begitu terpukul karena selama ini dia selalu dekat dengan ayahnya.. Suatu hari tanpa sengaja aku melihat
puteriku tertidur pulas disamping laptopnya yang masih menyala. Kucoba untuk
menutup laptopnya tapi alangkah tersentak hatiku saat kubaca tulisannya di
laptop tentang tugasnya dari guru perpustakaan sekolah, ia menuliskan tentang
pengalamannya saat liburan sekolah dan di akhir ceritanya yang membuatku tak
bisa menahan air mata adalah saat ia menceritakan tentang perjalanannya di ajak
ayahnya untuk melihat Tugu Monas di Jakarta. Perjalanan terakhirnya bersama ayahnya. Sikapnya
yang acuh tak acuh dan pendiam aku tahu itu bukan sifatnya yang sebenarnya.
Sikap puteriku yang seperti itu tak lain adalah karena kesalahanku yang terlalu
larut dalam kesedihan.
Mulai saat itulah aku berusaha perbaiki diri,
mengumpulkan semangat dan kekuatan yang
tersisa lalu kumulai dengan perhatian kembali untuk puteriku.
“Bunda,
Jangan melamun.”
“Maafkan,
Bunda sayang.”
Aku
peluk putri pertamaku. Aku
bagaikan tersiram bunga melati yang harum wangi. Putri pertamaku membuatku
tersadar dari kesedihanku yang begitu dalam.
Dengan terus berdoa dan
berharap
agar hidup kami kedepan lebih cerah, maka
kumulai merubah semuanya.
Suasana rumah aku buat berbeda, aku mulai dengan mengubah warna
tembok rumah menjadi
berwarna warni. Aku mulai semangat kembali untuk mengajar dan
bekerja seperti dulu meski banyak fitnah bermunculan, Aku tetap
teguh dengan pendirianku dan berusaha selalu berada di jalan lurus, jalannya
Allah SWT.
Aku berusaha untuk fokus pada
anak-anak dan pekerjaanku. Aku
selalu berdo’a dan berharap Allah SWT memberikan kekuatan padaku dan anak-anakku
agar aku sabar, tabah dan kuat menerima ujian hidup ini. Aku selalu memuji namaNya, agar hatiku lebih tenang dan
damai. Sahabatku tak
henti-hentinya memberi semangat, agar aku tak larut dalam duka, beliau tak lelah memberikan semangat.
Sahabatku selalu hadir disetiap aku dalam kesusahan, terlebih saat
suamiku dirawat di rumah sakit, hampir setiap hari ia datang.
“Sabar
ya, Jeng. Kamu harus kuat dan tabah.Semua ini adalah ujian dari Allah SWT.”
“Iya
bu, terima kasih motivasinya.”.
Aku
pernah membaca sebuah tulisan disebuah
majalah bernuansa islami kalimat yang
membuatku tenang “Kamu pasti akan diuji
dengan hartamu dan dirimu. Dan pasti kamu akan mendengar banyak hal yang sangat
menyakitkan hati dari orang-orang yang diberi Kitab sebelum kamudan orang-orang
yang musyrik. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian
itu termasuk urusan yang (patut) diutamakan.” (QS. Ali Imran: 186).
Alhamdulillah Allah SWT telah membuka hatiku dengan kalimat-Nya yang
tersurat. Aku sadar Allah SWT
mempunyai rencana dengan memberikan ujian ini kepadaku karena Allah sangat
menyayangiku, Allah ingin aku mengetahui bahwa dibalik setiap ujian tersimpan
hikmah yang perlu aku renungkan, agar aku mengetahui bahwa Allahlah yang menakdirkan semua ini terjadi. Allah
ingin agar aku bersiap-siap menghadapi ujian agar aku dapat lebih bersabar.
Aku
berharap sekuat batu karang di tengah samudra. Semoga Allah SWT senantiasa
memberi perlindungan pada keluargaku. Putri pertamaku sudah mulai bisa
tersenyum kembali Hatiku begitu lega dan bahagia. Kakiku terasa ringan melangkah kembali menyongsong masa
depan lebih cerah bersama kedua buah hatiku yang sangat aku sayangi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar